Selasa, 19 Mei 2009

Membongkar Tradisionalisme Pendidikan Pesantren; "Sebuah Pilihan Sejarah"


Pendidikan di tengah medan kebudayaan (culture area), berproses merajut dua substansi aras kultural, yaitu di samping terartikulasi pada upaya pemanusiaan dirinya, juga secara berkesinambungan mewujud ke dalam pemanusiaan dunia di sekitarnya (man humanizes himself in humanizing the world around him) (J.W.M. Bakker, SJ; 2000: 22). Kenyataan ini nampaknya amat begitu diinsafi oleh para designer awal dan founding fathers bangsa ini, hingga kemudian cita-cita yang megkristal dalam tujuan pendidikan nasional (Mukaddimah UUD '45) kita, betul-betul terarah ke pengertian seperti itu.

Dalam prakteknya, pengejawantahan cita-cita pendidikan nasional, nampaknya tidak harus melulu ditempuh melalui jalur formal secara berjenjang (hierarchies), yang dilaksanakan mulai dari Pendidikan Pra-Sekolah (PP. No. 27 Tahun 1990), Pendidikan Sekolah Dasar (PP. No. 28 Tahun 1990), Pendidikan Sekolah Menengah (PP. No. 29 Tahun 1990) dan Pendidikan Perguruan Tinggi (PP. No. 30 Tahun 1990), akan tetapi juga mengabsahkan pelaksanaan pendidikan secara non-formal dan in-formal (pendidikan luar sekolah) (UU Sisdiknas, 2003). Artikulasi pendidikan terakhir ini, basisnya diperkuat mulai dari pendidikan di lingkungan keluarga, masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan swasta.

Paralel dengan pelaksanaan pendidikan luar sekolah dalam pelbagai bentuk dan ragamnya, terdapat satu institusi pendidikan yang telah mengakar lama dalam sejarah pendidikan di Indonesia, yaitu terutama pendidikan Islam yang diselenggarakan di pesantren-pesantren (Islamic boarding school). Sebagai institusi pendidikan Islam tradisional, pesantren sudah sejak lama survive dalam sejarah perkembangan pendidikan Indonesia. Ia telah terbukti banyak memberi sumbangan bagi upaya mewujudkan idealisme pendidikan nasional, yang bukan sekedar hanya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (human resource) pada aspek penguasaan sains dan tekhnologi an sich, melainkan juga lebih concern dalam mencetak warga negara Indonesia yang memiliki ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terutama dalam memupuk generasi yang bermoral baik (akhlaq al-karimah).

Indegenousitas pesantren kontras berbeda dengan praktek pendidikan pada intitusi pendidikan lainnya, sehingga dinamika sekaligus problematika yang muncul kemudian, juga menampilkan watak yang khas dan eksotik. Di era globalisasi sekarang ini, Alfin Toffler membayangkan akan terciptanya 'masyarakat informasi' (the informasional society) yang sulit untuk dihindari oleh negara manapun di permukaan bumi ini, termasuk Indonesia. Sehingga, fenomena globalisasi yang begitu cepat mengalami akselerasi dalam pelbagai aspek, sebagai konsekuensi logis dari penerapan high-tech (tekhnologi tinggi), menyebabkan bangsa Indonesia tergiring pada pola interaksi yang amat cepat dan massif dengan negara-negara lain di dunia. Dalam fase masyarakat informasi inilah, pesantren semakin menghadapi tantangan yang tidak ringan dan lebih kompleks ketimbang periode waktu sebelumnya.

Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren 'dipaksa' memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang kian ketat itu, memosisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Ini mengindikasikan, bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya.

Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi)-kalau boleh dikatakan demikian-dalam pelbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Sebut saja misalnya mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga kependidikan (pegawai administrasi), guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Jika aspek-aspek pendidikan seperti ini tidak mendapatkan perhatian yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimalnya disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat (social needs and demand), tentu akan mengancam survival pesantren di masa depan. Masyarakat (baca: kaum muslimin Indonesia) akan semakin tidak tertarik dan lambat laun akan meninggalkan pendidikan 'ala pesantren, kemudian lebih memilih institusi pendidikan yang lebih menjamin kualitas output-nya. Pada taraf ini, pesantren berhadap-hadapan dengan dilema antara tradisi dan modernitas. Ketika pesantren tidak mau beranjak ke modernitas, dan hanya berkutat dan mempertahankan otentisitas tradisi pengajarannya yang khas tradisional, dengan pengajaran yang melulu bermuatan al-Qur'an dan al-Hadis serta kitab-kitab klasiknya (Karel Steenbrink, 1994, 167), tanpa adanya pembaharuan metodologis, maka selama itu pula pesantren harus siap ditinggalkan oleh masyarakat. Pengajaran Islam tradisional dengan muatan-muatan yang telah disebutkan di muka, tentu saja harus lebih dikembangkan agar penguasaan materi keagamaan anak didik (baca: santri) bisa lebih maksimal, di samping juga perlu memasukkan materi-materi pengetahuan non-agama dalam proses pengajaran di pesantren.

Dengan begitu, pengembangan pesantren tidak saja dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan non-agama, melainkan agar lebih efektif dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern. Sebab, ketika didaktik-metodik yang diterapkan masih berkutat pada cara-cara lama yang ketinggalan zaman alias "kuno", maka selama itu pula pesantren sulit untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan lainnya! Persoalannya, betulkah semua yang berwatak lama itu kurang baik?

Memahami Watak Tradisionalisme Pesantren
Persoalan ini tentunya harus dikembalikan pada proporsinya yang pas. Sebab, watak tradisional yang inherent di tubuh pesantren seringkali masih disalahpahami, dan ditempatkan bukan pada proporsinya yang tepat. Tradisionalisme yang melekat dan terbangun lama di kalangan pesantren, sejak awal minimal ditampilkan oleh dua wajah yang berbeda. Oleh karena itu, penyebutan tradisional tentu harus ditujukan pada aspek yang spesifik, tidak asal gebuk rata. Tradisionalisme pesantren di satu sisi melekat pada aras keagamaan (baca: Islam). Bentuk tradisionalisme ini merupakan satu sistem ajaran yang berakar dari perkawinan konspiratif antara teologi skolastisisme As'ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak ke-Islam-an di Indonesia (Abdurrahman Wahid, 1997). Selaras dengan pemahaman ini, terminologi yang akarnya ditemukan dari kata 'adat (bahasa Arab) ini, merupakan praktek keagamaan lokal yang diwariskan umat Islam Indonesia generasi pertama. Di sini Islam berbaur dengan sistem adat dan kebiasaan lokal, sehingga melahirkan watak ke-Islaman yang khas Indonesia (Martin van Bruinessen, 1997, 140).

Sementara tradisional dalam pengertian lainnya, bisa dilihat dari sisi metodologi pengajaran (pendidikan) yang diterapkan dunia pesantren (baca: salafiyah). Penyebutan tradisional dalam konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kiyai kepada santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan dan sejenisnya. Lepas dari persoalan itu, karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren (sesungguhnya) tidak selamanya buruk. Asumsi ini sebetulnya relevan dengan prinsip ushul fiqh, "al-Muhafadhah 'ala al- Qodimi as-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah" (memelihara [mempertahankan] tradisi yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru (modernitas) yang lebih baik). Artinya, tradisionalisme dalam konteks didaktik-metodik yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan tekhnologi. Oleh Karena itu, mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek pengajaran, merupakan pilihan sejarah (historical choice) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang kian kompetitif.

Di antara problem yang sering dijumpai dalam praktek pendidikan di pesantren, terutama yang masih bercorak salaf, adalah persoalan efektivitas metodologi pengajaran. Di sinilah perlunya dilakukan penyelarasan tradisi dan modernitas di tengah dunia pesantren. Dalam hal ini, memang diperlukan adanya pembaharuan di pesantren, terutama mengenai metodologi pengajarannya, namun pembaharuan ini tidak harus meninggalkan praktek pengajaran lama (tradisional), karena memang di sinilah karakter khas dan indegenousitas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Justru yang perlu dilakukan adalah, adanya konvigurasi sistemik dan kultural antara metodologi tradisional dengan metodologi konvensional-modern. Dengan demikian, penerapan metodologi pengajaran modern dan pembangunan kultur belajar yang dialogis-emansipatoris, bisa seirama dengan watak asli dari kultur pesantren. ?

Senin, 11 Mei 2009

Hammam Berucap


Lalu Bersyahadatlah Diriku....


Dulu....

Kufikir besi itu kuat

Tapi....

Besi leleh dimakan api


Dulu....

Kufikir api itu ganas

Tapi....

Api padam ditelan air


Dulu....

Kufikir air itu penguasa

Tapi....

Air habis diserap bumi


Dulu....

Kufikir bumi itu hebat

Tapi....

Bumi hangus terbakar matahari


Dulu....

Kufikir matahari itu raja

Tapi....

Matahari masih diselimuti langit


Dulu....

Kufikir langit itu luas

Tapi....

Langit terlalu kecil jika disampingkan dengan 'Arsy


Dulu....

Kufikir 'Arsy itu segalanya

Tapi....

'Arsy hanya sebagian kecil dari isi Al-Qur'an

Dan Al-Qur'an adalah ucapan Tuhan


Dan sekarang.........

Kufikirkan....Kumantapkan.....Kuimani........Kalau Allah itu Tuhanku


lalu bersyahadatlah diriku...........

Minggu, 10 Mei 2009

3 FIGUR KYAI

KH HABIB DIMYATHI
(Pondok Pesantren Tremas)

Beliau dilahirkan pada tahun 1923 M. Pada masa kecilnya beliau belajar dasar-dasar pengetahuan agama Islam di Pondok Tremas sendiri. Dan kemudian melanjutkan ke Pondok Al Hidayah Lasem dibawah asuhan KH. Ma’sum. Setelah satu tahun lebih sedikit beliau belajar di pondok tersebut, kemudian kembali lagi ke Tremas. Pada tahun 1937 beliau melanjutkan belajarnya ke Madrasah Salafiyah Kauman Surakarta selama dua tahun lebih sedikit dibawah asuhan KH. Dimyathi Abdul Karim. Dan dari madrasah Salafiyah tersebut beliau kembali lagi pulang ke Tremas. Setelah beberapa waktu di Tremas kemudian melanjutkan belajarnya ke Pondok Popongan dibawah asuhan KH. Mansyur, lantas melanjutkan lagi ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dibawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari sampai kemerdekaan tahun 1945. Sepulangnya dari Tebuireng lalu melanjutkan lagi ke Pondok Pesasntren Krapyak Yogyakarta, dan seterusnya ke Pondok Pesantren Sumolangu Kebumen dibawah asuhan KH. Thoifur Abdurrohman. Selama di Yogyakarta beliau masuk menjadi anggota tentara pejuang Hizbulloh dan menjadi anggota BPRI ( Barisan Pemberontak Republik Indonesia ) pimpinan Bung Tomo, berjuang melawan penjajah di Ambarawa dan bermarkas di Magelang.

Pada awal tahun 1948 beliau pulang ke Tremas, tetapi karena pada waktu itu masih dalam situasi yang serba kacau akibat pemberontakan PKI ( Affair Madiun ), maka beliau bersama pamannya, KH. Abdurrozaq dan kawan-kawannya ditahan oleh PKI di Pacitan.Namun berkat datangnya bantuan tentara Siliwangi ke daerah Pacitan akhirnya beliau-beliau dapat diselamatkan dari rencana pembunuhan oleh PKI.

Setelah beberapa bulan di Tremas beliau meneruskan lagi ke Pondok Pesantren Krapyak, sampai akhir tahun 1952 beliau dipanggil pulang ke Tremas untuk menggantikan kakaknya, Kyai Hamid Dimyathi yang terbunuh akibat terjadinya affair Madiun 1948


KH ALI MAKSUM
(Pondok Pesantren Krapyak)

Beliau, Kyai Haji Muhammad Ali bin Simbah KH Maksum bin KH. Ahmad dilahirkan di Lasem, kota tua di Jawa Tengah dari keluarga keturunan Sultan Minangkabau Malaka. Putra pasangan Kyai Haji Maksum Ahmad dan Nyai Hajjah Nuriyati Zainuddin ini, dari jalur kedua orangtua beliau juga merupakan keturunan Sayyid Abdurrahman Sambu alias Pangeran Kusumo bin Pangeran Ngalogo alias Pangeran Muhammad Syihabudin Sambu Digdadiningrat alias Mbah Sambu. Garis keturunan ini banyak melahirkan keluarga pesantren yang tersebar di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Masa muda beliau habiskan dengan berguru dari pesantren ke pesantren. Dimulai dari ayahnya sendiri yang juga seorang kyai ulama besar, beliau kemudian nyantri kepada Kyai Amir Pekalongan untuk kemudian melanjutkan nyantri kepada Kyai Dimyati Abdullah (adik Syeikh Mahfudz Attarmasi) Tremas Pacitan Jawa Timur. Sejak di Termas inilah beliau terlihat menonjol dan akhirnya ikut membantu gurunya mengajar dan mengurus madrasah pesantren dan membuat karangan tulisan.

Tak lama setelah diambil menantu oleh KH.M Munawwir al Hafidh al Muqri Krapyak Yogyakarta, beliau dibantu oleh seorang saudagar Kauman Yogyakarta untuk berhaji ke Mekah. Kesempatan ini beliau pergunakan pula untuk melanjutkan mengaji tabarrukan kepada para ulama Mekah ; Sayyid Alwi al Maliki Al Hasni, Syaikh Masyayikh Hamid Mannan, Syaikh Umar Hamdan dan sebagainya.

Setelah dua tahun mengaji di Mekah Kyai Ali kembali ke tanah Jawa. Sedianya beliau hendak tinggal di Lasem membantu ayahnya mengembangkan pesantren. Namun, sepeninggal Kyai Munawwir Krapyak, Pondok Krapyak memerlukan beliau untuk melanjutkan perjuangan di bidang pendidikan bersama-sama dengan KHR. Abdullah Affandi Munawwir dan KHR. Abdul Qadir Munawwir.

Akhirnya beliau menghabiskan umur dan segenap daya upaya beliau untuk merawat dan mengembangkan Pondok Krapyak, yang pada saat diasuh mendiang Kyai Munawwir merupakan cikal bakal pesantren al Qur'an di Indonesia.

KH BAKRIE HASBULLOH

(Pondok Pesantren Al-Fattah Kikil)

Beliau adalah putra dari KH Hasbulloh bin Ali Murtadlo,g enerasi ke-3 Pimpinan Pondok Pesantren Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan. Beliau lahir pada tahun 1911 M. Pondok Pesantren Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan dalam silsilahnya masih mempunya hubungan darah kekeluargaan dengan Pesantren Tremas, dalam satu keturunan KH Abdul Manan (pendiri Pondok Tremas). Pada usia 12 tahun KH Bakrie Hasbulloh sudah berguru ke Pondok Al-Hidayah Lasem Rembang pimpinan KH Ma'sum. Beliau nyantri selama 21 tahun di pesantren tersebut. Masa muda beliau habiskan di dalam pesantren. Setelah itu beliau melanjutkan berguru ke Makkah Al-Mukarramah. Setelah 1 tahun disana, Beliau kembali ke kikil dan melanjutkan perjuangan ayahandanya untuk menerus pimpinan Pondok Pesantren Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan.

Pada periode inilah pembaharuan dimulai, yang diawali dengan memperbaiki sistem pengajaran dari sistem salafi ke sistem Khalafi (Klasikal), yang ditandai dengan berdirinya Madrasah Islamiyah, metode klasikal yang baru beberapa tahun diterapkan, peristiwa G.30.S/PKI tahun 1965 dan ditambah banjir bandang yang melanda diseluruh Kabupaten Pacitan tahun 1966 yang sempat memporak porandakan bangunan Pondok Pasantren Al-Fattah yang berakibat sejak saat itu proses belajar mengajar sempat mengalami stagnasi.


Itu tadi keakraban ketiga kyai sepuh. Yang saling berguru, tukar pondok, tukar kyai. Dan harapan kita semoga jasa ketiga Kyai tersebut dalam niat mengembangkan ilmu dan pesantren dapat balasan dari Allah SWT, dan barokah ilmu dari beliau semua dapat kita rasakan sampai saat ini. Amien.

KEUTAMAAN SHALAWAT


Kita senantiasa memanjatkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Rasulullah:

وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ

Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Sayyidina Muhammad Rasulullah

Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيما

Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawat salamlah kepadanya. (QS Al-Ahzab 33: 56)

Shalawat dari Allah berarti rahmat. Bila shalawat itu dari Malaikat atau manusia maka yang dimaksud adalah doa.

Sementara salam adalah keselamatan dari marabahaya dan kekurangan.

Tidak ada keraguan bahwa membaca shalawat dan salam adalah bagian dari pernghormatan (tahiyyah), maka ketika kita diperintah oleh Allah untuk membaca shalawat -yang artinya mendoakan Nabi Muhammad- maka wajib atas Nabi Muhammad melakukan hal yang sama yaitu mendoakan kepada orang yang membaca shalawat kepadanya. Karena hal ini merupakan ketetapan dari ayat:

فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Maka lakukanlah penghormatan dengan penghormatan yang lebih baik atau kembalikanlah penghormatan itu. (QS. An Nisa’: 86)

Doa dari Nabi inilah yang dinamakan dengan syafaat. Semua ulama telah sepakat bahwa doa nabi itu tidak akan ditolak oleh Allah. Maka tentunya Allah akan menerima Syafaat beliau kepada setiap orang yang membaca shalawat kepadanya.

Banyak sekali hadits yang menjelaskan keutamaan membaca shalawat kepada Nabi. Diantaranya:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِي كِتَابٍ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تَسْنَغْفِرُ لَهُ مَا دَامَ اسْمِي فِي ذَلِكَ الْكِتَابِ

Barangsiapa berdoa (menulis) shalawat kepadaku dalam sebuah buku maka para malaikat selalu memohonkan ampun kepada Allah pada orang itu selama namaku masih tertulis dalam buku itu.

مَنْ سَرَّهُ أنْ يُلْقِى اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ رَاضٍ فَلْيُكْثِرْ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ

Barangsiapa yang ingin merasa bahagia ketika berjumpa dengan Allah dan Allah ridlo kepadanya, maka hendaknya ia banyak membaca shalawat kepadaku (Nabi).

مَا أكْثَرَ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ فِيْ حَيَاتِهِ أَمَرَ اللهُ جَمِيْعَ مَخْلُوْقَاتِهِ أنْ يَسْتَغْقِرُوا لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ

Barangsipa membaca shalawat kepadaku di waktu hidupnya maka Allah memerintahkan semua makhluk-Nya memohonkan maaf kepadanya setelah wafatnya.

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ ثُمَّ تَقًرَّقُوْا مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ اللهِ وَصَلَاةٍ عَلَى النَّبِيِّ إلَّا قَامُوْا عَنْ أنْتَنَ مِنْ حِيْفَةٍ

Mereka yang berkumpul (di suatu majlis) lalu berpisah dengan tanpa dzikir kepada Allah dan membaca shalawat kepada nabi, maka mereka seperti membawa sesuatu yang lebih buruk dari bangkai.

Para ulama sepakat (ittifaq) diperbolehkannya menambahkan lafadz ‘sayyidina‘ yang artinya tuan kita, sebelum lafadz Muhammad. Namun mengenai yang lebih afdhol antara menambahkan lafadz sayyidina dan tidak menambahkannya para ulama berbeda pendapat.

Syeikh Ibrahim Al-Bajuri dan Syeik Ibnu Abdis Salam lebih memilih bahwa menambahkan lafadz sayyidina itu hukumnya lebih utama, dan beliau menyebutkan bagian ini melakukan adab atau etika kepada Nabi. Beliau berpijak bahwa melakukan adab itu hukumnya lebih utama dari pada melakukan perintah (muruatul adab afdholu minal imtitsal) dan ada dua hadits yang menguatkan ini.

Yaitu hadits yang menceritakan sahabat Abu Bakar ketika diperintah oleh Rasulullah mengganti tempatnya menjadi imam shalat subuh, dan ia tidak mematuhinya. Abu bakar berkata:

مَا كَانَ لِابْنِ أَبِيْ قُحَافَةَ أَنْ يَتَقَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ

Tidak sepantasnya bagi Abu Quhafah (nama lain dari Abu Bakar) untuk maju di depan Rasulullah.

Yang kedua, yaitu hadits yang menceritakan bahwa sahabat Ali tidak mau menghapus nama Rasulullah dari lembara Perjanjian Hudaibiyah. Setelah hal itu diperintahkan Nabi, Ali berkata

لَا أمْحُو إسْمَكَ أَبَدُا

Saya tidak akan menghapus namamu selamanya.

Kedua hadits ini disebutkan dalam kitab Shahih Bukhori dan Muslim.Taqrir (penetapan) yang dilakukan oleh Nabi pada ketidakpatuhan sahabat Abu Bakar dan ali yang dilakukan karena melakukan adab dan tatakrama ini menunjukkan atas keunggulan hal itu.

Pondok Pesantren Al-Fattah


Latar Belakang Sejarah

Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama khususnya agama Islam yang berpengaruh mewakili sub culture yang tersendiri dalam masyarakat. Tradisi pesantren di Indonesia khususnya di Jawa telah berlangsung sejak beberapa abad yang lalu.

Namun demikian, pesantren baru mendapat perhatian para ahli yang mempelajari Islam di Indonesia sejak pertengahan abad ke-19 (Brumun, 1857). Sejak 141 tahun yang lalu tepatnya pada tahun 1866 Pondok pesantren Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan Jawa Timur berdiri, Kikil adalah sebuah tempat terletak kurang lebih 11 km disebelah utara dari kota Pacitan 0,5 km dari kecamatan Arjosari. Yang menempati areal seluas 10.614,76 M², Berdirinya Pondok Pesantren Al-Fattah Kikil tidak terlepas dari sosok KH. Ali Murtadlo, beberapa kemajuan baik dibidang pendidikan maupun pembangunan sarana fisik terus mengalami peningkatan dan bahkan mampu menyiapkan generasi yang tidak hanya cakap dalam bidang agama namun mampu pula berperan di tengah masyarakat.

PERIODESASI KEPEMIMPINAN
PONDOK PESANTREN AL-FATTAH KIKIL PACITAN


Periode Pertama KH. Ali Murtadlo ( 1866 – 1906 )
Pada Kepemimpinan KH. Ali Murtadlo ciri utama metode pengajaran yang diterapkan adalah metode salafi yaitu sistem bandongan dan sorogan. Adapun kitab-kitab yang dikaji pada saat itu, seperti Tafsir Al-Qur’an, Nahwu, Shorof Fiqih dan lain-lain.

Periode Kepemimpinan KH. Hasbullah ( 1906 – 1932 )
Sepeninggal KH. Ali Murtadlo kepemimpinan dilanjutkan oleh KH. Hasbullah dimana pada periode ini santri semakin banyak dan kajian kitabpun mulai ditambah namun sistem pengajaran tidak jauh berbeda dengan masa periode pertama, pada periode ini pergolakan politik ditanah air sedang berkecamuk, kondisi perekonomian tidak menentu, keamanan yang labil dan suasana yang kurang kondusif untuk sebuah pesantren ini. Yang mengakibatkan sistim pembelajaran terganggu.

Periode Kepemimpinan KH. Bakri Hasbullah (1932–1976) Periode Pembaharuan.
Pada periode selanjutnya adalah masa kepemimpinan KH. Bakri Hasbullah dimana pada masa ini pembangunan mulai banyak dilakukan baik fisik maupun non fisik. Pembangunan dilakukan beliau setelah menyelesaikan dari nyantrinya di Pondok Pesantren Al-Hidayah Lasem Rembang Jawa Tengah, kemudian beliau menunaikan ibadah haji ke Makkah al-Mukaromah.

Pada periode inilah pembaharuan dimulai, yang diawali dengan memperbaiki sistem pengajaran dari sistem salafi ke sistem Khalafi (Klasikal), yang ditandai dengan berdirinya Madrasah Islamiyah, metode klasikal yang baru beberapa tahun diterapkan, peristiwa G.30.S/PKI tahun 1965 dan ditambah banjir bandang yang melanda diseluruh Kabupaten Pacitan tahun 1966 yang sempat memporak porandakan bangunan Pondok Pasantren Al-Fattah yang berakibat sejak saat itu proses belajar mengajar sempat mengalami stagnasi.

Periode Kepemimpinan KH. Moch. Burhanuddin HB (1976 – sekarang ) Periode Kebangkitan.
Setelah mengalami stagnasi maka pada periode KH. Moch. Burhanuddin HB inilah, Pondok Pesantren Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan mulai pembaharuan besar-besaran, setelah estafet kepemimpinan dipegang oleh putra KH. Bakri Hasbullah no 2 sistem pendidikan mulai diperbaharui. Yang pertama adalah Madrasah Islamiyah yang sudah ada sejak periode sebelumnya kemudian dimunculkan mulai sejak tahun 1976.

Setelah beliau menyelesaikan pendidikannya di Pondok Modern Gontor Ponorog, madrasah inilah yang mengawali istiqomah beliau dalam pengembangan Pondok pesantren Al-Fattah Kikil, setelah Madrasah Diniyah Islamiyah berdiri maka tahun berikutnya untuk menandai perkembangan didirikan Institusi yang lebih tinggi yaitu Madrasah Tsanawiyah Pembangunan (MTs-P) tepatnya tanggal 20 Januari 1977, dengan berbekal ilmu dari Pondok Modern Gontor Ponorogo beliau berusaha mengembangkan lembaga Pendidikan ini dibawah naungan Pondok pesantren Al-fattah Kikil, dengan berdirinya Madrasah Tsanawiyah Pembangunan kebangkitan Pondok pesantren Al-Fattah mulai tampak, untuk memudahkan pengawasan dan manajemen serta meningkatkan profesionalisme maka beberapa tahun kemudian didirikan Yayasan Pondok Pesantren Al-Fattah yang melengkapi kebangkitan dan pembaharuan di Pondok Pesantren ini. Melihat perkembangan animo masyarakat terhadap Pondok Pesantren Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan yang sangat tinggi maka lembaga baru setingkat SLTA didirikan yaitu Madrasah Aliyah Pembangunan (MAP) yang didirikan pada tanggal 12 Juli 1985.

Yang menadai kebangkitan Pondok ini bukan hanya pada pendirian lembaga saja namun pembangunan gedung, laboratorium Komputer, Laboratorium Bahasa, Perpustakaan, pembangunan Asrama Putra dan Putri, Sanitasi, Koperasi Al-Muawanah, Wartel Layahtasib, Manajemen Pendidikan dan peningkatan Mutu Guru tidak terlepas dari sosok Pembaharu ini.

Untuk melengkapi pembahuran di Pondok Pesantren Al-Fattah pada tahun 2003 dibuka Sekolah Menengah Kejuruan bekerja sama dengan SMK Negeri I Pacitan. Kemudian pada tanggal 1 Juli 2006 SMK di Pondok Pesantren Al-Fattah Kikil resmi mendapat ijin operasional dari Dinas Pendidikan Kabupaten Pacitan dengan nama Sekolah Menengah Kejuruan Pembangunan dengan dua program Keahlian yaitu 1). Program Tata Busana 2). Program Teknologi Informatika, yang menandai pesatnya Kebangkitan Pondok Pesantren Al-Fattah Kikil pada Periode ini adalah adanya Keterbukaan Manajemen (Open Managemen) sehingga masa ini dapat disebut dengan masa kebangkitan.

Sabtu, 09 Mei 2009

TENTANG DEDDY MIZWAR


Sutradara, produser, sekaligus aktor kawakan, Deddy Mizwar, dikenal aktif memproduksi film dan sinetron bernuansa dakwah dengan pesan moral dan agama yang ringan dan menghibur. Aktor senior pemenang 4 piala Citra (untuk film) dan 2 piala Vidya (untuk sinetron) ini sudah berpengalaman membuat sejumlah sinetron bermuatan dakwah dari serial Pengembara, Mat Angin sampai Lorong Waktu.

Kecintaan aktor asli Betawi ini pada dunia seni tidak terbantahkan lagi. Buktinya, selepas sekolah, ia sempat berstatus pegawai negeri pada Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Namun ayah dari 2 anak ini hanya betah 2 tahun saja sebagai pegawai karena ia lebih gandrung main teater – ia bergabung di Teater Remaja Jakarta. Selebihnya, jalan hidupnya banyak ia baktikan pada dunia seni, lebih tepatnya seni peran.

Darah seni itu rupanya mengalir deras dari ibunya, Ny. Sun'ah yang pernah memimpin sangar seni Betawi. Akhirnya, ia dan ibunya kerap mengadakan kegiatan seni di kampung sekitarnya. "Pertama kali manggung, saat acara 17 Agustus-an di kampung. Saya bangga sekali waktu itu, karena ditepukin orang sekampung. Saya pun jadi ketagihan berakting," kenang Deddy.

Kecintaannya pada dunia teater telah mengubah jalan hidupnya. Beranjak dewasa, sekitar tahun 1973, Deddy mulai aktif di Teater Remaja Jakarta. Dan lewat teater inilah bakat akting Deddy mulai terasah. Deddy pernah terpilih sebagai Aktor Terbaik Festival Teater Remaja di Taman Ismail Marzuki. Tidak sekedar mengandalkan bakat alam, Deddy kemudian kuliah di LPKJ, tapi cuma dua tahun.

Memulai karier di film pada 1976, Deddy bekerja keras dan mencurahkan kemampuan aktingnya, di berbagai film yang dibintangi. Pertama kali main film, dalam Cinta Abadi (1976) yang disutradarai Wahyu Sihombing, dosennya di LPKJ, dia langsung mendapat peran utama. Puncaknya, perannya di film Naga Bonar kian mendekatkannya pada popularitas. Kepiawaiannya berakting membuahkan hasil dengan meraih 4 Piala Citra sekaligus dalam FFI 1986 dan 1987 diantaranya: Aktor Terbaik FFI dalam Arie Hanggara (1986), Pemeran Pembantu Terbaik FFI dalam Opera Jakarta (1986), Aktor Terbaik FFI dalam Naga Bonar (1987), dan Pemeran Pembantu Terbaik FFI dalam Kuberikan Segalanya (1987).

Di awal tahun 90-an, karir Deddy Mizwar mencapai puncak. Melalui kekuatan aktingnya yang mengagumkan, popularitas ada dalam genggamannya. Meski namanya semakin populer, Deddy merasa hampa. Di tengah rasa hampa, pikirannya membawanya kembali pada masa kecilnya. Lahir di Jakarta 5 Maret 1955, ia tumbuh di tengah nuansa religius etnis Betawi. Ia terkenang suasana pengajian di surau yang tenang dan sejuk. Jiwanya ingin kembali mencicipi suasana teduh di masa kecil itu.

Pergolakan batinnya akhirnya berakhir setelah ia meyakini bahwa hidup ini semata-mata beribadah kepada Allah. Sejak itu, Deddy belajar agama secara intens. Kini segala hal harus bernilai ibadah bagi Deddy. Termasuk pada bidang yang digelutinya yakni dunia perfilman dan sinetron.

Suami dari Giselawati ini kemudian memutuskan untuk terjun langsung memproduksi sinetron dan film bertemakan religius sebagai wujud ibadahnya kepada Allah. Didirikanlah PT Demi Gisela Citra Sinema tahun 1996. Tekadnya sudah bulat kendati pada perkembangan berikutnya banyak rintangan dan hambatan ditemui.

Ketika itu sinetron religius Islam masih menjadi barang langka dan kurang bisa diterima pihak stasiun televisi. Kondisi ini tidak menyurutkan langkahnya. Maka dibuatlah sinetron Hikayat Pengembara yang tayang di bulan Ramadhan. Usahanya berbuah hasil. Rating sinetron ini cukup menggembirakan. Setelah itu hampir semua stasiun televisi menayangkan sinetron religius bulan Ramadhan. ''Berjuangnya sungguh keras tapi setelah itu semua orang bisa menikmati,'' kata Deddy bangga.

Diakuinya produk sinetron yang bernafaskan religius Islam sulit mendapatkan tempat di stasiun televisi selain di bulan Ramadhan. Hal ini disebabkan stasiun teve terlampau under estimate di samping memang tidak banyak sineas yang mau membuat tayangan sinetron religius di luar bulan Ramadhan.

Dalam pandangan Deddy Mizwar, film merupakan salah satu media dakwah yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan-pesan Islam kepada masyarakat luas termasuk kalangan non-Muslim. ”Saya contohkan sinetron ‘Lorong Waktu’ yang ternyata diminati pula oleh warga non-Muslim. Bahkan, saat ini ‘Lorong Waktu’ diputar ulang di luar bulan Ramadan hingga saya berkesimpulan sinetron atau film dakwah tak harus identik dengan bulan Ramadan,” katanya. Dengan kata lain, masyarakat rupanya mau menerima dan menyambut hangat tayangan religius di luar Ramadhan.

Ke depan, Deddy akan terus berusaha konsisten memproduksi film dan sinetron religius.
Ia juga menyarankan agar umat Islam mendirikan stasiun TV sendiri, sehingga umat Islam memiliki alternatif dalam memilih stasiun TV maupun acaranya. ”Sudah waktunya umat Islam mengisi dan mewarnai acara-acara TV. Saya melihat potensi ke arah itu cukup besar terutama dari kalangan sineas muda dan mahasiswa,” kata aktor yang telah membintangi sekitar 70 film layar lebar ini penuh optimisme. ► mlp
Nama:
Deddy Mizwar
Lahir:
Jakarta, 5 Maret 1955
Isteri:
Giselawaty Wiranegara
Anak:
Senandung Nacita dan Zulfikar Rakita
Prestasi:
Aktor Terbaik FFI dalam Arie Hanggara 1986
Pemeran Pembantu Terbaik FFI dalam Opera Jakarta 1986
Aktor Terbaik FFI dalam Naga Bonar 1987
Pemeran Pembantu Terbaik FFI dalam kuberikan segalanya 1987
Pemeran Pembantu Piala Terbaik Piala Vidia FSI dalam Vonis Kepagian 1996
Aktor Terbaik dan Sutradara Terbaik sekaligus Sinetron Terbaik FSI dalam Mat Angin 1999
Unggulan FFI (12 kali):
Bukan Impian Semusim FFI 1982
Sunan Kalijaga FFI 1984
Saat-saat Kau Berbaring Di dadaku FFI 1985
Kerikil-kerikil Tajam FFI 1985
Kejarlah Daku Kau Kutangkap FFI 1986
Ayahku FFI 1988
Putihnya Duka Kelabunya Bahagia FFI 1989
Dua Dari Tiga Lelaki FFI 1990
Jangan Renggut Cintaku FFI 1990
Sinetron:
Pengembara
Lorong Waktu
Adillah
Film:
Kiamat Sudah Dekat ( VCD )
Naga Bonar
Plong ( VCD )
Hatiku Bukan Pualam
Cinta Abadi
Sunan Kalijaga & Syech Siti Jenar

Sabtu, 21 Maret 2009

PUISI dalam AL-QUR'AN

CAHAYA DI ATAS CAHAYA


Allah adalah cahaya langit dan bumi, Perumpamaan cahayanya adalah ibarat Misykat, Dalam Misykat itu ada pelita, Pelita itu dalam kaca Kaca itu laksana bintang berkilau, Dinyalakan dengan minyak pohon yang diberkati, Pohon zaitun yang bukan di Timur atau di Barat ,Yang minyaknya hampir menyala dengan sendirinya, Walaupun tiada api menyentuhnya, Cahaya diatas cahaya! Allah menuntun kepada cahaya-Nya, Siapa saja yang ia kehendaki, Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, Sungguh Allah mengetahui segalanya
(Q.S An-Nur: 35)

Rabu, 18 Maret 2009

AJARAN CINTA JALALUDDIN AR RUMI

Ia berkata, "Siapa itu berada di pintu?"
Aku berkata, "Hamba sahaya, Paduka."
Ia berkata, "Mengapa kau ke mari?"

Aku berkata, "Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti."
Ia berkata, "Berapa lama kau bisa bertahan?"
Aku berkata, "Sampai ada panggilan."
Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah
Bahwa, demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.
Ia berkata, "Hakim menuntut saksi kalau a
da pernyataan."
Aku berkata, "Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku."
Ia berkata, "Saksi tidak sah, matamu juling."
Aku berkata, "Karena wibawa keadilanmu, mataku terbebas dari dosa."



Bait-bait syair bernuansa religius di atas adalah nukilan dari salah satu puisi karya Jalaluddin ar-Rumi, penyair sufi terbesar dari Persia. Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah --kedalaman makna dan keindahan bahasa--yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum atau sesudahnya.

Di kalangan para pecinta sastra tasawuf, nama Jalaluddin ar-Rumi tidak asing lagi. Karya-karyanya tidak hanya diminati oleh masyarkat Muslim, tetapi juga masyarakat Barat. Karena itu, tak mengherankan jika karya sang penyair sufi dari Persia (Iran) yang bernama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi ini berpengaruh besar terhadap perkembangan ajaran tasawuf sesudahnya.

Rumi dilahirkan di Kota Balkh, Afghanistan, pada 30 September 1207 M/604 H dan wafat di Kota Konya, Turki, pada 17 Desember 1273 M/672 H. Sejak kecil, ar-Rumi dan orang tuanya terbiasa hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Keluarganya pernah tinggal di Nisabur (Iran timur laut), Baghdad, Makkah, Malatya (Turki), Laranda (Iran tenggara), dan Konya. Meski hidup berpindah-pindah, sebagian besar hidup ar-Rumi dihabiskan di Konya yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).

Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Tarekat Maulawiah--sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun l648. Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indra dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, umat Islam memang sedang dilanda penyakit itu.

TARIAN SANG SUFI

Selain dikenal sebagai seorang penyair sufi, Jalaluddin ar-Rumi juga merupakan pendiri Tarekat Maulawiah atau Jalaliah. Tarekat ini ia kembangkan bersama sahabatnya, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad.

Tarekat Maulawiyah atau Jalaliah adalah sebuah tarekat sufi yang terkenal dan banyak dianut di Turki dan Suriah. Di Barat, tarekat ini dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para darwis yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar yang diiringi oleh gendang dan suling dalam zikir mereka untuk mencapai ekstase .

Menurut sebuah riwayat, tarian yang dilakukan oleh Ar-Rumi dilakukan tanpa kesengajaan. Tarian itu justru dilakukannya ketika dirinya merasa sedih sepeninggal gurunya, Syamsuddin Tabriz, yang dibunuh oleh warga Konya. Rumi benar-benar merasakan kehilangan sang panutan, laksana kehidupan tanpa sinar matahari. Hingga pada suatu hari, seorang pandai besi yang bernama Shalahuddin membuat Rumi menari-nari berputar-putar sambil melantunkan syair-syair puitis akan kecintaannya kepada Tuhan dan gurunya.

Dari sinilah, Jalaluddin Ar-Rumi menjalin persahabatan dengan Shalahuddin untuk menggantikan kedudukan sang guru. Bersama Shalahuddin yang memukul gendang, Rumi pun menari dan menari untuk mengungkapkan penghambaan dirinya dalam menghibur dan mendekatkan diri pada Tuhan.

Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah berhenti menari kerana dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai. Bagian hanya Allah yang layak untuk dicintai.

Dari caranya menemukan hakikat cinta untuk Tuhan, Kota Konya yang sempat sepi menjadi ramai kembali berkat tarian-tarian cinta yang berputar untuk Tuhan. Bahkan, banyak pengikut-pengikutnya di berbagai negara di dunia melakukan hal yang sama sebagai bentuk kecintaan kepada sang guru dalam menemukan Tuhan.

Suatu hari, Rumi pernah berkata kepada anaknya, Sultan Walad, bahwa Kota Konya akan menjadi semarak. ''Akan tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak dan makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita, menggemakan ucapan-ucapan kita.''

Kini, perkataan Rumi itu terbukti. Setelah sekian lama terlelap oleh sejarah, Kota Konya hidup kembali berkat sang sufi. ''Kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,'' tulis Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.

Kenyataannya memang demikian. Lebih dari tujuh abad, Rumi bak bayangan yang abadi mengawal Konya, terutama kepada pengikutnya, the whirling dervishes , para darwis yang menari. Setiap tahun, pada 2-17 Desember, jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan penjuru angin, mereka berarak untuk memperingati kematian Rumi, 727 tahun silam.

Siapakah sesungguhnya manusia yang telah menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham? ''Dialah penyair mistik terbesar sepanjang zaman,'' kata orientalis Inggris, Reynold A Nicholson. ''Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci,'' seru Jami, penyair Persia Klasik, tentang karya Rumi, Al-Masnawi .

Bahkan, cucu ar-Rumi, Sulthanul Auliya Maulana Syekh Nazhim Adil al-Haqqani, kagum dengan kakeknya tersebut. Ia berkata sebagai berikut. ''Dia adalah orang yang tidak mempunyai ketiadaan. Saya mencintainya dan saya mengaguminya, saya memilih jalannya, dan saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih yang abadi. Dia adalah orang yang saya cintai, dia begitu indah. Oh , dia adalah yang paling sempurna.

Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.''Itulah Jalaluddin a-Rumi, sang sufi penganut cinta sejati untuk Tuhannya.
PUISI buat ISYA

Dengan puisi....

Dengan puisi aku bernyanyi sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta berbatas cakrawala

Dengan puisi aku mengenang keabadian yang akan datang
Dengan puisi aku menangis jarum waktu bila kejar mengiri

Dengan puisi aku memutih nafas jalan yang busuk
Dengan puisi aku berdoa perkenankanlah kiranya


Senin, 16 Maret 2009

Kulo nyuwun saran lan kritikanipun, kagem terlaksananipun
ALBUM
Hammam, Ketika memimpin Maulid di Pondok Pesantren Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan

Maulid Nabi, 17 Rabiul Awal 1430 H


Al Mumiit


Aku diajari melihat hidup mati ☼ Seperti menatap perbedaan
antara malam Dan siang hari, ☼ namun dari sumur-Mu aku Peroleh

pengetahuan bahwa mati ☼ bukanlah Akhir kehidupan.
Kematian demi kematian berlangsung ☼ Di dalam kehidupan, yakni tatkala

Hati dan pikiran lenyap di gelap hutan ☼ Buta dari cahaya yang engkau pancarkan
Adapun jika dari tubuh nyawa Dipisahkan: ☼ itulah selangkah kaki menuju Penjelasan-Mu

atas hasil-hasil ujian Yang panjang ☼ Di kehidupan yang ini engkau Menganugerahkan
segala peralatan untuk Memilih jalan ☼ Dikehidupan berikutnya Aku tinggal berserah

diri kepada timbangan Adil Peradilan ☼ Sungguh, mati bukan ujung hayat Mati
ialah kehidupan dimana aku tinggal ☼ Telanjang tak bisa menipu diri Segala

busuk wangiku tak lagi mungkin Kututup-tutupi ☼ Jadi beribu syukur kepada-Mu Kucicilkan
atas rahmat kematian demi Kematian ☼ dalam kehidupan Dengan itu berlatihlah

Aku untuk Mempersiapkan ☼ kalau izrail datang Nanti
telah kubersihkan diriku dari ☼ segala Sampah dan kotoran
cerpen
FASTABIQUL KHAIRAAT dalam KETERBATASAN

(Hanyakah karena ekonomi lemah...pendidikan juga ikut melemahkan orang yang lemah...?)
Karya : HAMMAM FATHULLOH HBRata Penuh

Subuh nan pagi. Pagi nan subuh. Kedua kata yang tidak dapat dipisahkan ini mungkin tercatat dalam agenda syukur yang wajib diucapkan semua makhluk setiap saat. Syukur Alhamdulillah hari ini hamba masih diberi kesempatan membuat planing-planing jihad fii sabilillah dalam merangka Fastabiqul Khoiraat. Sebagai manusia yang normal sudah tidak semestinya kita membanggakan diri, angkuh terhadap kekuatan kita sendiri. Lihatlah si embun itu….!!!begitu takdzimnya dia kepada penciptanya. Sekarang dengarkanlah kicauan burung-burung itu…!!!!begitu setianya dia berdzikir mengingat Sang Khaliq. Tapi sekarang lihatlah manusia-manusia itu…!!! Anugerah akal dan hati yang sudah difasilitasi tersebut seakan tak digunakan lagi, betapa tidak malunya dia ketika subuh menjelang justru mereka dengan asyiknya bergulat gemulai dengan selimut, kasur, bantal, dan guling serta bersastra manis dalam mimpi yang entah kemana larinya.
Tapi suasana tersebut tidak akan ditemui dalam pesantren ini. Sebuah pesantren yang terletak di pojokan Jawa Timur. Tercatat juga sebagai salah satu pesantren tertua di pulau jawa. Jadi tidak heran lagi jika setiap subuh terdengar suara santri dengan semangatnya menghafal nadzam-nadzam alfiah. Dari ujung asrama yang terlihat sangat tradisional, dengan model asrama yang masih berlantaikan dan berdindingkan kayu, memberi kesan yang sangat klasik. Tercium sekali aroma pesantren disini, lantunan alfiah setiap hari seakan sudah menjadi Original Sound Track dalam cerita di kehidupan mereka. Nadzam-nadzam buah karya Imam Malik tersebut sengaja dihafalkan untuk mempermudah mereka belajar bahasa arab. Karena alfiah sendiri membahas tentang nahwu (tata bahasa).
Begitu juga dengan Ahmad dan Ismail atau yang dikenal dengan sebutan Mail. Antusias yang sangat tinggi, niat yang menggelora, gairah tholabul ‘ilmi (menuntut ilmu) yang luar biasa. Dua cucu Adam ini dilahirkan oleh satu ayah dan satu ibu, alias saudara kandung. Usia yang tidak terpaut jauh membuat mereka seperti teman satu angkatan saja. Ahmad adalah yang paling sulung, dia duduk di kelas 3 Aliyah dan yang paling kecil adalah Mail, dia baru kelas 1 Aliyah..
Galaknya matahari seakan mengalahkan bengisnya ratu sihir dalam dongeng-dongeng purbakala. Begitu gagahnya ia memancarkan sinarnya, sekaligus panasnya pula. Begitu terasa di kulit, ibarat kain sarung yang disetrika. Tapi hal itu, semuanya itu tidak mampu membuat surut niat anak-anak pesantren untuk mengais tebaran-tabaran ilmu yang senantiasa para ustadz berikan. Karena mereka selalu ingat pesan Kyainya. Karena innamal a’malu bi an niyati. Semuanya itu bergantung pada niat hati kita masing-masing.
Hari ini adalah hari kamis, weekend nya para santri. Karena esok harinya libur. Hari jumat adalah hari yang ditunggu-tunggu dalam sepekan. Lain halnya dengan 2 bersaudara itu, Ahmad dan Mail. Mereka hanya bisa duduk lemas dipojok tangga asrama, serambi melihat teman-temannya yang berjalan lalu lalang dengan wajah berseri-seri, tersenyum, tertawa, bahkan ada yang sampai teriak kegirangan. Entah kenapa mereka seakan tidak menggap keberadaan Ahmad dan Mail. Padahal jika boleh jujur, Dua bersaudara ini lagi ada masalah. ”Kenapa mereka menganggap kita sahabat jikalau mereka hanya butuh doank...????? Kenapa disaat kita butuh mereka acuh tak acuh seperti ini....????” batin Ahmad.
”Kak.....kita halaman yuk...!!!” ajak Mail kepada kakaknya.
^^^
Hanya ada halaman luas, rumuput hijau, pepohonan, kicauan burung dan angin yang mereka anggap sebagai teman paling setia. Disaat mereka senang, sedih, marah, dan dalam kondisi apapun.
”Kak....katanya kemaren kakak telpon umi ya...???”tanya Mail.
”Iya il.....”jawab Ahmad.
”Terus kata kakak tadi ada yang mau kakak bicarain sama Mail...? Apa kak...?”tanya Mail lagi.
”Mail sayang gak sama Umi...?”
”Ya...sayang lah kak....Emang ada apa tho kok nanya kayak gitu...???tanya Mail bingung.
“Kamu mau kan berkorban sesuatu buat umi….??
”Mau kak....berkorban apa kak...??Mail panik, sambil menarik-narik lengan baju Ahmad karena pengen cepet-cepet tau dengan apa yang sebenarnya terjadi.
”Umi sakit.....”jawab Ahmad.
”Sakit apa kak...?? tanya Mail kaget.
”Kakak gak tau nama penyakitnya, tapi yang jelas Umi butuh biaya pengobatan. Dan Mail tahu sendiri kan abah sudah tidak ada? Jadi kalau bukan kita yang bantu siapa lagi....???
”Maksud kakak....??? kita berhenti sekolah....???
”Iya il.....!”
”Tapi kan....kakak bentar lagi ujian, nanggung kak tinggal beberapa bulan lagi!”
”Ya tapi kan lebih penting umi dari pada sekolah!”
”Kak....gini aja....biar Mail yang berhenti sekolah. Mail yang cari duit. Kakak lanjutin sekolahnya. Ya kak…!!!”
“Tapi il…..!!!”
“Udah lah kak…..lagian kakak pernah bilang. Kakak pengen buktiin ke keluarga kalau kakak adalah orang pertama yang bisa lulus sekolah sampai tingkat Aliyah. Kakak mau buktiin kalau tidak selamanya orang kecil kayak kita gak layak dapat pendidikan…!!! Ya kan kak…??? Kakak masih ingat kan sama janji kakak ke Mail….??? Kakak juga sering ngasih nasehat ke Mail, kalau Mail itu harus rajin Sekolah, apaun situasinya.” terang Mail dengan nada tinggi sambil menatap tajam mata dan menarik-narik bahu kakaknya.
Ahmad cuma bisa nundukin kepala didepan adiknya sendiri.

Mereka terdiam. Mail mulai melepaskan genggaman tangannya di bahu kakaknya tadi. Mereka sama-sama menatap langit yang terlihat cerah itu sambil membuang nafas mereka. Melamun.....itu yang mereka lakukan, hampir 30 menit tatapan kosong itu mereka lontarkan kepada sang langit yang terlihat menghina mereka, entah hinaan atau tantangan. Karena Ahmad dan Mail terlihat sekali dan merasa sekali menjadi makhluk yang paling lemah, susah buat berfikir, berat mau melangkahkan kaki, kaku untuk mengangkat lengan baju, dan linu untuk berteriak. Ingin berteriak ”TUHAN........TOLONG AKU..........!!!!”.
Sejenak diam kembali.......
”Mail.......kalau Mail tadi nyuruh kakak nerusin sekolah, sekarang kakak juga nyuruh Mail buat nerusin sekolah...!”
”Loh....maksud kakak...??” tanya Mail.
”Ya kita harus tetap sekolah.!”
”Lha umi gimana kak.....?”
”Kita kerja.....sekolah sambil kerja!!”
”Lha ngaji kita gimana kak....??
“Nanti kakak yang bilang sama pak Kyai!”
”Ya terserah kakak aja lah! Mail ikut aja!”
^^^
Rahasia Tuhan siapa yang tahu……Seberapapun usaha manusia, jika Allah belum mengizinkan, semua usaha itu akan sia-sia, tapi jika Allah mengijinkan. KUN FA YAKUN. Yang jelas Allah tidak akan menguji kaum melampaui betas kemampuannya.
Usaha Ahmad dan Mail ternyata berbuah sesuatu yang tidak sesuai dengan harapannya. Umi tercintanya, Bunda tersayangnya, dan sosok Ibu yang mereka kasihi ternyata begitu setianya menyusul kepergian almarhum Bapaknya.
Begitu sakitnya Ahmad dan Mail ketika melihat jenazah almarhumah Uminya dikuburkan.
”YAA..ALLAH......!!!!!”
^^^
Umi mengorbankan nyawanya sendiri hanya gara-gara membiayai pendidikan kedua putranya. Beliau hanya ingin melihat kedua putranya berhasil sekolah dan rajin ngaji di dalam pesantren. Tapi ironis sekali…pemerintah seakan-akan tidak mau menolehkan mukanya kepada nasib keluarga ini. Seakan-akan pendidikan di negeri ini sudah menjadi ajang matrealisme pemerintahan. Kalau seperti ini kaum cilik akan selamanya mendapat pelayanan pendidikan yang cilik juga.
^^^
Tinggal kulit dan tulang saja yang sekarang nampak di tubuh Ahmad dan Mail.Seakan-akan mereka ingin menyusul almarhum kedua orang tuanya saja. Sekarang , mereka hanya hidup sendiri. Tak ada lagi suapan nasi yang masuk kedalam perutnya. Hingga akhirnya ajal pula yang menjemput mereka. Jenazah Ahmad dan Mail ditemukan di sebuah kamar di pojokan Asrama Pesantren serambi tangan mereka saling menggenggam, dan disebelah mereka ada sebuah Al-Qur’an dan sepucuk surat.
Yang isi surat tersebut adalah :
Buat Bapak dan Umi disana ”Bapak..Umi....maafin Ahmad dan Mail. Kami belum bisa mewujudkan keinginan Bapak dan Umi. Kami makan tidak ada yang membiayai. Kami sekolah tidak ada pula yang membiayai. Kami kehilangan Bapak dan Umi. Jadi jangan salahkan Kami kalau kami menyusul Bapak dan Umi. Kami fikir, disini kami tidak dapat menikmati fasilitas pendidikan layaknya manusia-manusia yang lain, tapi Kami yakin disana Kami akan bahagia, karena disana ada Bapak dan Umi. Ahmad dan Mail sayang Bapak Umi.”
Tertanda, Ahmad dan Mail
MUSAFIR DAN TELAGA ILMU

Sujud……….. ku tak tahu
Rukuk……….ku juga tak tahu
I'tidal……….ku semakin tidak tahu
Begitu jauh kah diriku dengan MU…???
Aku malu dengan MU Yaa Penguasa ilmu...
kenapa butir debu itu mentertawakanku…??
Sementara itu……..dibalik bilik sebuah masa…..
Teriakan nadimu tak kuasa getarkan ari ku
Aku yang tuli, apa dunia yang bodoh…??
Teriakan hati dunia juga tidak pernah ku tuangkan ke dalam cangkir hatiku
Sapaan jantungnya tak kau persilahkan masuk ke serambi otak kecilku
Ucapan salam tangannya…………
tak ku jawab dengan mulut yang diolesi
lipstik tebal berwarna merah menyala itu
Menor sekali hatiku, tak ada lagi kelembutan di raut mukaku
Tapi…itulah duniaku,, dunia ku sudah terlanjur busuk tuk kutapaki
Tetapi dibalik semua itu,,,,dibalik semua yang sudah rusak itu….
Dan dibalik moral yang amburadul itu…
Aku…..aku melihat cahaya di timur sana…
Ya….ada ilmu ditelaga sana…..

Selasa, 10 Maret 2009

SASTRA DAN SANTRI

Barangkali ada suatu pertanyaan yang 'mengganjal' dan perlu kita jawab bersama; kenapa sastrawan-santri yang lahir di Pesantren, hampir semuanya, bisa dipastikan, bukan berdiri dari hasil proses belajar mengajar di Pesantren? Melainkan karena motif sastra, yang dikenalinya di luar dunia Pesantren? Padahal, bukankah Pesantren cukup mengajarkan apresiasi terhadap sastra, selain memang sudah menjadi tradisi para kiyai. Sejak dahulu, tradisi ilmu sastra di Pesantren diajarkan, untuk menyebut nama seperti kitab Siraj At-Talibin-nya Kyai Ihsan- Kediri, atau kitab Al-Miftah, Aroudl, Balagah, Ma'ani juga beberapa lainnya tersebut seperti bandongan, sorogan, dan wetonan, dan lain sebagainya. Bukankah ini sebagai bukti bahwa santri dan sastra cukup akrab bersahabat, tidak saja sekedar untuk memahami isi dan menangkap pesan di dalam kitabnya, melainkan untuk memproduksi sastra itu sendiri.

Teantang Hammam dan Sastra


Saya ini terlahir tertera nama "HAMMAM FATHULLOH", yang kurang lebih bermakna "orang yang mempunyai cita-cita luhur, dan menginginkan cita-cita tersebut diijabai oleh Allah SWT".

Saya seneng dengan sastra, terlebih dunia sufi. Banyak hal yang bisa kita ambil dari sebuah sastra. Salah satunya sastra bisa menjadi mediasi untuk bertaqarrub ila Allah. Saya berkeyakinan Al-Qur'an lah sastra yang paling tinggi. Saya banyak terinspirasi dari ayat-ayat Al-Qur'an untuk menciptakan sebuah seni, ataupun sastra baru.

Saya terlahir dalam lingkungan pesantren, abah saya (KH.Moch.Burhanuddin HB) dan umi saya (Hj. Sri Wahyuni) serta kakak-kakak saya (Hanik Nur Kholida,S.Sos.I dan Hamka Hakim,Lc), alhamdulillah selalu mendukung saya dalam proses pembelajaran sastra, meskipun hanya secara otodidak. Di lingkungan pesantren banyak sekali kitab-kitab kuning yang mempunya nilai sastra sangat tinggi, sekalipun kitab kuning tersebut berisi tentang study keilmuan. Seperti kitab karangan Jalaluddin Ar Rumi, dan kitab-kitab buatan orang Indonesia seperti, Emha ainun Nadjib, Gus Mus, dll.

Sekali lagi Sastra adalah satu kesatuan dengan yang namanya seni. Seni adalah sebuah kegiatan yang mengandung dan menghasilkan sebuah keindahan. Dan keindahan adalah suatu hal yang sangat disukai Allah. Jadi mari....dengan sastra kita dekatkan diri kita menuju Allah. Karena kita milikNYA dan akan berpulang kepadaNYA pula.