Senin, 16 Maret 2009

cerpen
FASTABIQUL KHAIRAAT dalam KETERBATASAN

(Hanyakah karena ekonomi lemah...pendidikan juga ikut melemahkan orang yang lemah...?)
Karya : HAMMAM FATHULLOH HBRata Penuh

Subuh nan pagi. Pagi nan subuh. Kedua kata yang tidak dapat dipisahkan ini mungkin tercatat dalam agenda syukur yang wajib diucapkan semua makhluk setiap saat. Syukur Alhamdulillah hari ini hamba masih diberi kesempatan membuat planing-planing jihad fii sabilillah dalam merangka Fastabiqul Khoiraat. Sebagai manusia yang normal sudah tidak semestinya kita membanggakan diri, angkuh terhadap kekuatan kita sendiri. Lihatlah si embun itu….!!!begitu takdzimnya dia kepada penciptanya. Sekarang dengarkanlah kicauan burung-burung itu…!!!!begitu setianya dia berdzikir mengingat Sang Khaliq. Tapi sekarang lihatlah manusia-manusia itu…!!! Anugerah akal dan hati yang sudah difasilitasi tersebut seakan tak digunakan lagi, betapa tidak malunya dia ketika subuh menjelang justru mereka dengan asyiknya bergulat gemulai dengan selimut, kasur, bantal, dan guling serta bersastra manis dalam mimpi yang entah kemana larinya.
Tapi suasana tersebut tidak akan ditemui dalam pesantren ini. Sebuah pesantren yang terletak di pojokan Jawa Timur. Tercatat juga sebagai salah satu pesantren tertua di pulau jawa. Jadi tidak heran lagi jika setiap subuh terdengar suara santri dengan semangatnya menghafal nadzam-nadzam alfiah. Dari ujung asrama yang terlihat sangat tradisional, dengan model asrama yang masih berlantaikan dan berdindingkan kayu, memberi kesan yang sangat klasik. Tercium sekali aroma pesantren disini, lantunan alfiah setiap hari seakan sudah menjadi Original Sound Track dalam cerita di kehidupan mereka. Nadzam-nadzam buah karya Imam Malik tersebut sengaja dihafalkan untuk mempermudah mereka belajar bahasa arab. Karena alfiah sendiri membahas tentang nahwu (tata bahasa).
Begitu juga dengan Ahmad dan Ismail atau yang dikenal dengan sebutan Mail. Antusias yang sangat tinggi, niat yang menggelora, gairah tholabul ‘ilmi (menuntut ilmu) yang luar biasa. Dua cucu Adam ini dilahirkan oleh satu ayah dan satu ibu, alias saudara kandung. Usia yang tidak terpaut jauh membuat mereka seperti teman satu angkatan saja. Ahmad adalah yang paling sulung, dia duduk di kelas 3 Aliyah dan yang paling kecil adalah Mail, dia baru kelas 1 Aliyah..
Galaknya matahari seakan mengalahkan bengisnya ratu sihir dalam dongeng-dongeng purbakala. Begitu gagahnya ia memancarkan sinarnya, sekaligus panasnya pula. Begitu terasa di kulit, ibarat kain sarung yang disetrika. Tapi hal itu, semuanya itu tidak mampu membuat surut niat anak-anak pesantren untuk mengais tebaran-tabaran ilmu yang senantiasa para ustadz berikan. Karena mereka selalu ingat pesan Kyainya. Karena innamal a’malu bi an niyati. Semuanya itu bergantung pada niat hati kita masing-masing.
Hari ini adalah hari kamis, weekend nya para santri. Karena esok harinya libur. Hari jumat adalah hari yang ditunggu-tunggu dalam sepekan. Lain halnya dengan 2 bersaudara itu, Ahmad dan Mail. Mereka hanya bisa duduk lemas dipojok tangga asrama, serambi melihat teman-temannya yang berjalan lalu lalang dengan wajah berseri-seri, tersenyum, tertawa, bahkan ada yang sampai teriak kegirangan. Entah kenapa mereka seakan tidak menggap keberadaan Ahmad dan Mail. Padahal jika boleh jujur, Dua bersaudara ini lagi ada masalah. ”Kenapa mereka menganggap kita sahabat jikalau mereka hanya butuh doank...????? Kenapa disaat kita butuh mereka acuh tak acuh seperti ini....????” batin Ahmad.
”Kak.....kita halaman yuk...!!!” ajak Mail kepada kakaknya.
^^^
Hanya ada halaman luas, rumuput hijau, pepohonan, kicauan burung dan angin yang mereka anggap sebagai teman paling setia. Disaat mereka senang, sedih, marah, dan dalam kondisi apapun.
”Kak....katanya kemaren kakak telpon umi ya...???”tanya Mail.
”Iya il.....”jawab Ahmad.
”Terus kata kakak tadi ada yang mau kakak bicarain sama Mail...? Apa kak...?”tanya Mail lagi.
”Mail sayang gak sama Umi...?”
”Ya...sayang lah kak....Emang ada apa tho kok nanya kayak gitu...???tanya Mail bingung.
“Kamu mau kan berkorban sesuatu buat umi….??
”Mau kak....berkorban apa kak...??Mail panik, sambil menarik-narik lengan baju Ahmad karena pengen cepet-cepet tau dengan apa yang sebenarnya terjadi.
”Umi sakit.....”jawab Ahmad.
”Sakit apa kak...?? tanya Mail kaget.
”Kakak gak tau nama penyakitnya, tapi yang jelas Umi butuh biaya pengobatan. Dan Mail tahu sendiri kan abah sudah tidak ada? Jadi kalau bukan kita yang bantu siapa lagi....???
”Maksud kakak....??? kita berhenti sekolah....???
”Iya il.....!”
”Tapi kan....kakak bentar lagi ujian, nanggung kak tinggal beberapa bulan lagi!”
”Ya tapi kan lebih penting umi dari pada sekolah!”
”Kak....gini aja....biar Mail yang berhenti sekolah. Mail yang cari duit. Kakak lanjutin sekolahnya. Ya kak…!!!”
“Tapi il…..!!!”
“Udah lah kak…..lagian kakak pernah bilang. Kakak pengen buktiin ke keluarga kalau kakak adalah orang pertama yang bisa lulus sekolah sampai tingkat Aliyah. Kakak mau buktiin kalau tidak selamanya orang kecil kayak kita gak layak dapat pendidikan…!!! Ya kan kak…??? Kakak masih ingat kan sama janji kakak ke Mail….??? Kakak juga sering ngasih nasehat ke Mail, kalau Mail itu harus rajin Sekolah, apaun situasinya.” terang Mail dengan nada tinggi sambil menatap tajam mata dan menarik-narik bahu kakaknya.
Ahmad cuma bisa nundukin kepala didepan adiknya sendiri.

Mereka terdiam. Mail mulai melepaskan genggaman tangannya di bahu kakaknya tadi. Mereka sama-sama menatap langit yang terlihat cerah itu sambil membuang nafas mereka. Melamun.....itu yang mereka lakukan, hampir 30 menit tatapan kosong itu mereka lontarkan kepada sang langit yang terlihat menghina mereka, entah hinaan atau tantangan. Karena Ahmad dan Mail terlihat sekali dan merasa sekali menjadi makhluk yang paling lemah, susah buat berfikir, berat mau melangkahkan kaki, kaku untuk mengangkat lengan baju, dan linu untuk berteriak. Ingin berteriak ”TUHAN........TOLONG AKU..........!!!!”.
Sejenak diam kembali.......
”Mail.......kalau Mail tadi nyuruh kakak nerusin sekolah, sekarang kakak juga nyuruh Mail buat nerusin sekolah...!”
”Loh....maksud kakak...??” tanya Mail.
”Ya kita harus tetap sekolah.!”
”Lha umi gimana kak.....?”
”Kita kerja.....sekolah sambil kerja!!”
”Lha ngaji kita gimana kak....??
“Nanti kakak yang bilang sama pak Kyai!”
”Ya terserah kakak aja lah! Mail ikut aja!”
^^^
Rahasia Tuhan siapa yang tahu……Seberapapun usaha manusia, jika Allah belum mengizinkan, semua usaha itu akan sia-sia, tapi jika Allah mengijinkan. KUN FA YAKUN. Yang jelas Allah tidak akan menguji kaum melampaui betas kemampuannya.
Usaha Ahmad dan Mail ternyata berbuah sesuatu yang tidak sesuai dengan harapannya. Umi tercintanya, Bunda tersayangnya, dan sosok Ibu yang mereka kasihi ternyata begitu setianya menyusul kepergian almarhum Bapaknya.
Begitu sakitnya Ahmad dan Mail ketika melihat jenazah almarhumah Uminya dikuburkan.
”YAA..ALLAH......!!!!!”
^^^
Umi mengorbankan nyawanya sendiri hanya gara-gara membiayai pendidikan kedua putranya. Beliau hanya ingin melihat kedua putranya berhasil sekolah dan rajin ngaji di dalam pesantren. Tapi ironis sekali…pemerintah seakan-akan tidak mau menolehkan mukanya kepada nasib keluarga ini. Seakan-akan pendidikan di negeri ini sudah menjadi ajang matrealisme pemerintahan. Kalau seperti ini kaum cilik akan selamanya mendapat pelayanan pendidikan yang cilik juga.
^^^
Tinggal kulit dan tulang saja yang sekarang nampak di tubuh Ahmad dan Mail.Seakan-akan mereka ingin menyusul almarhum kedua orang tuanya saja. Sekarang , mereka hanya hidup sendiri. Tak ada lagi suapan nasi yang masuk kedalam perutnya. Hingga akhirnya ajal pula yang menjemput mereka. Jenazah Ahmad dan Mail ditemukan di sebuah kamar di pojokan Asrama Pesantren serambi tangan mereka saling menggenggam, dan disebelah mereka ada sebuah Al-Qur’an dan sepucuk surat.
Yang isi surat tersebut adalah :
Buat Bapak dan Umi disana ”Bapak..Umi....maafin Ahmad dan Mail. Kami belum bisa mewujudkan keinginan Bapak dan Umi. Kami makan tidak ada yang membiayai. Kami sekolah tidak ada pula yang membiayai. Kami kehilangan Bapak dan Umi. Jadi jangan salahkan Kami kalau kami menyusul Bapak dan Umi. Kami fikir, disini kami tidak dapat menikmati fasilitas pendidikan layaknya manusia-manusia yang lain, tapi Kami yakin disana Kami akan bahagia, karena disana ada Bapak dan Umi. Ahmad dan Mail sayang Bapak Umi.”
Tertanda, Ahmad dan Mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar