Sabtu, 21 Maret 2009

PUISI dalam AL-QUR'AN

CAHAYA DI ATAS CAHAYA


Allah adalah cahaya langit dan bumi, Perumpamaan cahayanya adalah ibarat Misykat, Dalam Misykat itu ada pelita, Pelita itu dalam kaca Kaca itu laksana bintang berkilau, Dinyalakan dengan minyak pohon yang diberkati, Pohon zaitun yang bukan di Timur atau di Barat ,Yang minyaknya hampir menyala dengan sendirinya, Walaupun tiada api menyentuhnya, Cahaya diatas cahaya! Allah menuntun kepada cahaya-Nya, Siapa saja yang ia kehendaki, Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, Sungguh Allah mengetahui segalanya
(Q.S An-Nur: 35)

Rabu, 18 Maret 2009

AJARAN CINTA JALALUDDIN AR RUMI

Ia berkata, "Siapa itu berada di pintu?"
Aku berkata, "Hamba sahaya, Paduka."
Ia berkata, "Mengapa kau ke mari?"

Aku berkata, "Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti."
Ia berkata, "Berapa lama kau bisa bertahan?"
Aku berkata, "Sampai ada panggilan."
Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah
Bahwa, demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.
Ia berkata, "Hakim menuntut saksi kalau a
da pernyataan."
Aku berkata, "Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku."
Ia berkata, "Saksi tidak sah, matamu juling."
Aku berkata, "Karena wibawa keadilanmu, mataku terbebas dari dosa."



Bait-bait syair bernuansa religius di atas adalah nukilan dari salah satu puisi karya Jalaluddin ar-Rumi, penyair sufi terbesar dari Persia. Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah --kedalaman makna dan keindahan bahasa--yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum atau sesudahnya.

Di kalangan para pecinta sastra tasawuf, nama Jalaluddin ar-Rumi tidak asing lagi. Karya-karyanya tidak hanya diminati oleh masyarkat Muslim, tetapi juga masyarakat Barat. Karena itu, tak mengherankan jika karya sang penyair sufi dari Persia (Iran) yang bernama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi ini berpengaruh besar terhadap perkembangan ajaran tasawuf sesudahnya.

Rumi dilahirkan di Kota Balkh, Afghanistan, pada 30 September 1207 M/604 H dan wafat di Kota Konya, Turki, pada 17 Desember 1273 M/672 H. Sejak kecil, ar-Rumi dan orang tuanya terbiasa hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Keluarganya pernah tinggal di Nisabur (Iran timur laut), Baghdad, Makkah, Malatya (Turki), Laranda (Iran tenggara), dan Konya. Meski hidup berpindah-pindah, sebagian besar hidup ar-Rumi dihabiskan di Konya yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).

Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Tarekat Maulawiah--sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun l648. Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indra dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, umat Islam memang sedang dilanda penyakit itu.

TARIAN SANG SUFI

Selain dikenal sebagai seorang penyair sufi, Jalaluddin ar-Rumi juga merupakan pendiri Tarekat Maulawiah atau Jalaliah. Tarekat ini ia kembangkan bersama sahabatnya, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad.

Tarekat Maulawiyah atau Jalaliah adalah sebuah tarekat sufi yang terkenal dan banyak dianut di Turki dan Suriah. Di Barat, tarekat ini dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para darwis yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar yang diiringi oleh gendang dan suling dalam zikir mereka untuk mencapai ekstase .

Menurut sebuah riwayat, tarian yang dilakukan oleh Ar-Rumi dilakukan tanpa kesengajaan. Tarian itu justru dilakukannya ketika dirinya merasa sedih sepeninggal gurunya, Syamsuddin Tabriz, yang dibunuh oleh warga Konya. Rumi benar-benar merasakan kehilangan sang panutan, laksana kehidupan tanpa sinar matahari. Hingga pada suatu hari, seorang pandai besi yang bernama Shalahuddin membuat Rumi menari-nari berputar-putar sambil melantunkan syair-syair puitis akan kecintaannya kepada Tuhan dan gurunya.

Dari sinilah, Jalaluddin Ar-Rumi menjalin persahabatan dengan Shalahuddin untuk menggantikan kedudukan sang guru. Bersama Shalahuddin yang memukul gendang, Rumi pun menari dan menari untuk mengungkapkan penghambaan dirinya dalam menghibur dan mendekatkan diri pada Tuhan.

Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah berhenti menari kerana dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai. Bagian hanya Allah yang layak untuk dicintai.

Dari caranya menemukan hakikat cinta untuk Tuhan, Kota Konya yang sempat sepi menjadi ramai kembali berkat tarian-tarian cinta yang berputar untuk Tuhan. Bahkan, banyak pengikut-pengikutnya di berbagai negara di dunia melakukan hal yang sama sebagai bentuk kecintaan kepada sang guru dalam menemukan Tuhan.

Suatu hari, Rumi pernah berkata kepada anaknya, Sultan Walad, bahwa Kota Konya akan menjadi semarak. ''Akan tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak dan makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita, menggemakan ucapan-ucapan kita.''

Kini, perkataan Rumi itu terbukti. Setelah sekian lama terlelap oleh sejarah, Kota Konya hidup kembali berkat sang sufi. ''Kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,'' tulis Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.

Kenyataannya memang demikian. Lebih dari tujuh abad, Rumi bak bayangan yang abadi mengawal Konya, terutama kepada pengikutnya, the whirling dervishes , para darwis yang menari. Setiap tahun, pada 2-17 Desember, jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan penjuru angin, mereka berarak untuk memperingati kematian Rumi, 727 tahun silam.

Siapakah sesungguhnya manusia yang telah menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham? ''Dialah penyair mistik terbesar sepanjang zaman,'' kata orientalis Inggris, Reynold A Nicholson. ''Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci,'' seru Jami, penyair Persia Klasik, tentang karya Rumi, Al-Masnawi .

Bahkan, cucu ar-Rumi, Sulthanul Auliya Maulana Syekh Nazhim Adil al-Haqqani, kagum dengan kakeknya tersebut. Ia berkata sebagai berikut. ''Dia adalah orang yang tidak mempunyai ketiadaan. Saya mencintainya dan saya mengaguminya, saya memilih jalannya, dan saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih yang abadi. Dia adalah orang yang saya cintai, dia begitu indah. Oh , dia adalah yang paling sempurna.

Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.''Itulah Jalaluddin a-Rumi, sang sufi penganut cinta sejati untuk Tuhannya.
PUISI buat ISYA

Dengan puisi....

Dengan puisi aku bernyanyi sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta berbatas cakrawala

Dengan puisi aku mengenang keabadian yang akan datang
Dengan puisi aku menangis jarum waktu bila kejar mengiri

Dengan puisi aku memutih nafas jalan yang busuk
Dengan puisi aku berdoa perkenankanlah kiranya


Senin, 16 Maret 2009

Kulo nyuwun saran lan kritikanipun, kagem terlaksananipun
ALBUM
Hammam, Ketika memimpin Maulid di Pondok Pesantren Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan

Maulid Nabi, 17 Rabiul Awal 1430 H


Al Mumiit


Aku diajari melihat hidup mati ☼ Seperti menatap perbedaan
antara malam Dan siang hari, ☼ namun dari sumur-Mu aku Peroleh

pengetahuan bahwa mati ☼ bukanlah Akhir kehidupan.
Kematian demi kematian berlangsung ☼ Di dalam kehidupan, yakni tatkala

Hati dan pikiran lenyap di gelap hutan ☼ Buta dari cahaya yang engkau pancarkan
Adapun jika dari tubuh nyawa Dipisahkan: ☼ itulah selangkah kaki menuju Penjelasan-Mu

atas hasil-hasil ujian Yang panjang ☼ Di kehidupan yang ini engkau Menganugerahkan
segala peralatan untuk Memilih jalan ☼ Dikehidupan berikutnya Aku tinggal berserah

diri kepada timbangan Adil Peradilan ☼ Sungguh, mati bukan ujung hayat Mati
ialah kehidupan dimana aku tinggal ☼ Telanjang tak bisa menipu diri Segala

busuk wangiku tak lagi mungkin Kututup-tutupi ☼ Jadi beribu syukur kepada-Mu Kucicilkan
atas rahmat kematian demi Kematian ☼ dalam kehidupan Dengan itu berlatihlah

Aku untuk Mempersiapkan ☼ kalau izrail datang Nanti
telah kubersihkan diriku dari ☼ segala Sampah dan kotoran
cerpen
FASTABIQUL KHAIRAAT dalam KETERBATASAN

(Hanyakah karena ekonomi lemah...pendidikan juga ikut melemahkan orang yang lemah...?)
Karya : HAMMAM FATHULLOH HBRata Penuh

Subuh nan pagi. Pagi nan subuh. Kedua kata yang tidak dapat dipisahkan ini mungkin tercatat dalam agenda syukur yang wajib diucapkan semua makhluk setiap saat. Syukur Alhamdulillah hari ini hamba masih diberi kesempatan membuat planing-planing jihad fii sabilillah dalam merangka Fastabiqul Khoiraat. Sebagai manusia yang normal sudah tidak semestinya kita membanggakan diri, angkuh terhadap kekuatan kita sendiri. Lihatlah si embun itu….!!!begitu takdzimnya dia kepada penciptanya. Sekarang dengarkanlah kicauan burung-burung itu…!!!!begitu setianya dia berdzikir mengingat Sang Khaliq. Tapi sekarang lihatlah manusia-manusia itu…!!! Anugerah akal dan hati yang sudah difasilitasi tersebut seakan tak digunakan lagi, betapa tidak malunya dia ketika subuh menjelang justru mereka dengan asyiknya bergulat gemulai dengan selimut, kasur, bantal, dan guling serta bersastra manis dalam mimpi yang entah kemana larinya.
Tapi suasana tersebut tidak akan ditemui dalam pesantren ini. Sebuah pesantren yang terletak di pojokan Jawa Timur. Tercatat juga sebagai salah satu pesantren tertua di pulau jawa. Jadi tidak heran lagi jika setiap subuh terdengar suara santri dengan semangatnya menghafal nadzam-nadzam alfiah. Dari ujung asrama yang terlihat sangat tradisional, dengan model asrama yang masih berlantaikan dan berdindingkan kayu, memberi kesan yang sangat klasik. Tercium sekali aroma pesantren disini, lantunan alfiah setiap hari seakan sudah menjadi Original Sound Track dalam cerita di kehidupan mereka. Nadzam-nadzam buah karya Imam Malik tersebut sengaja dihafalkan untuk mempermudah mereka belajar bahasa arab. Karena alfiah sendiri membahas tentang nahwu (tata bahasa).
Begitu juga dengan Ahmad dan Ismail atau yang dikenal dengan sebutan Mail. Antusias yang sangat tinggi, niat yang menggelora, gairah tholabul ‘ilmi (menuntut ilmu) yang luar biasa. Dua cucu Adam ini dilahirkan oleh satu ayah dan satu ibu, alias saudara kandung. Usia yang tidak terpaut jauh membuat mereka seperti teman satu angkatan saja. Ahmad adalah yang paling sulung, dia duduk di kelas 3 Aliyah dan yang paling kecil adalah Mail, dia baru kelas 1 Aliyah..
Galaknya matahari seakan mengalahkan bengisnya ratu sihir dalam dongeng-dongeng purbakala. Begitu gagahnya ia memancarkan sinarnya, sekaligus panasnya pula. Begitu terasa di kulit, ibarat kain sarung yang disetrika. Tapi hal itu, semuanya itu tidak mampu membuat surut niat anak-anak pesantren untuk mengais tebaran-tabaran ilmu yang senantiasa para ustadz berikan. Karena mereka selalu ingat pesan Kyainya. Karena innamal a’malu bi an niyati. Semuanya itu bergantung pada niat hati kita masing-masing.
Hari ini adalah hari kamis, weekend nya para santri. Karena esok harinya libur. Hari jumat adalah hari yang ditunggu-tunggu dalam sepekan. Lain halnya dengan 2 bersaudara itu, Ahmad dan Mail. Mereka hanya bisa duduk lemas dipojok tangga asrama, serambi melihat teman-temannya yang berjalan lalu lalang dengan wajah berseri-seri, tersenyum, tertawa, bahkan ada yang sampai teriak kegirangan. Entah kenapa mereka seakan tidak menggap keberadaan Ahmad dan Mail. Padahal jika boleh jujur, Dua bersaudara ini lagi ada masalah. ”Kenapa mereka menganggap kita sahabat jikalau mereka hanya butuh doank...????? Kenapa disaat kita butuh mereka acuh tak acuh seperti ini....????” batin Ahmad.
”Kak.....kita halaman yuk...!!!” ajak Mail kepada kakaknya.
^^^
Hanya ada halaman luas, rumuput hijau, pepohonan, kicauan burung dan angin yang mereka anggap sebagai teman paling setia. Disaat mereka senang, sedih, marah, dan dalam kondisi apapun.
”Kak....katanya kemaren kakak telpon umi ya...???”tanya Mail.
”Iya il.....”jawab Ahmad.
”Terus kata kakak tadi ada yang mau kakak bicarain sama Mail...? Apa kak...?”tanya Mail lagi.
”Mail sayang gak sama Umi...?”
”Ya...sayang lah kak....Emang ada apa tho kok nanya kayak gitu...???tanya Mail bingung.
“Kamu mau kan berkorban sesuatu buat umi….??
”Mau kak....berkorban apa kak...??Mail panik, sambil menarik-narik lengan baju Ahmad karena pengen cepet-cepet tau dengan apa yang sebenarnya terjadi.
”Umi sakit.....”jawab Ahmad.
”Sakit apa kak...?? tanya Mail kaget.
”Kakak gak tau nama penyakitnya, tapi yang jelas Umi butuh biaya pengobatan. Dan Mail tahu sendiri kan abah sudah tidak ada? Jadi kalau bukan kita yang bantu siapa lagi....???
”Maksud kakak....??? kita berhenti sekolah....???
”Iya il.....!”
”Tapi kan....kakak bentar lagi ujian, nanggung kak tinggal beberapa bulan lagi!”
”Ya tapi kan lebih penting umi dari pada sekolah!”
”Kak....gini aja....biar Mail yang berhenti sekolah. Mail yang cari duit. Kakak lanjutin sekolahnya. Ya kak…!!!”
“Tapi il…..!!!”
“Udah lah kak…..lagian kakak pernah bilang. Kakak pengen buktiin ke keluarga kalau kakak adalah orang pertama yang bisa lulus sekolah sampai tingkat Aliyah. Kakak mau buktiin kalau tidak selamanya orang kecil kayak kita gak layak dapat pendidikan…!!! Ya kan kak…??? Kakak masih ingat kan sama janji kakak ke Mail….??? Kakak juga sering ngasih nasehat ke Mail, kalau Mail itu harus rajin Sekolah, apaun situasinya.” terang Mail dengan nada tinggi sambil menatap tajam mata dan menarik-narik bahu kakaknya.
Ahmad cuma bisa nundukin kepala didepan adiknya sendiri.

Mereka terdiam. Mail mulai melepaskan genggaman tangannya di bahu kakaknya tadi. Mereka sama-sama menatap langit yang terlihat cerah itu sambil membuang nafas mereka. Melamun.....itu yang mereka lakukan, hampir 30 menit tatapan kosong itu mereka lontarkan kepada sang langit yang terlihat menghina mereka, entah hinaan atau tantangan. Karena Ahmad dan Mail terlihat sekali dan merasa sekali menjadi makhluk yang paling lemah, susah buat berfikir, berat mau melangkahkan kaki, kaku untuk mengangkat lengan baju, dan linu untuk berteriak. Ingin berteriak ”TUHAN........TOLONG AKU..........!!!!”.
Sejenak diam kembali.......
”Mail.......kalau Mail tadi nyuruh kakak nerusin sekolah, sekarang kakak juga nyuruh Mail buat nerusin sekolah...!”
”Loh....maksud kakak...??” tanya Mail.
”Ya kita harus tetap sekolah.!”
”Lha umi gimana kak.....?”
”Kita kerja.....sekolah sambil kerja!!”
”Lha ngaji kita gimana kak....??
“Nanti kakak yang bilang sama pak Kyai!”
”Ya terserah kakak aja lah! Mail ikut aja!”
^^^
Rahasia Tuhan siapa yang tahu……Seberapapun usaha manusia, jika Allah belum mengizinkan, semua usaha itu akan sia-sia, tapi jika Allah mengijinkan. KUN FA YAKUN. Yang jelas Allah tidak akan menguji kaum melampaui betas kemampuannya.
Usaha Ahmad dan Mail ternyata berbuah sesuatu yang tidak sesuai dengan harapannya. Umi tercintanya, Bunda tersayangnya, dan sosok Ibu yang mereka kasihi ternyata begitu setianya menyusul kepergian almarhum Bapaknya.
Begitu sakitnya Ahmad dan Mail ketika melihat jenazah almarhumah Uminya dikuburkan.
”YAA..ALLAH......!!!!!”
^^^
Umi mengorbankan nyawanya sendiri hanya gara-gara membiayai pendidikan kedua putranya. Beliau hanya ingin melihat kedua putranya berhasil sekolah dan rajin ngaji di dalam pesantren. Tapi ironis sekali…pemerintah seakan-akan tidak mau menolehkan mukanya kepada nasib keluarga ini. Seakan-akan pendidikan di negeri ini sudah menjadi ajang matrealisme pemerintahan. Kalau seperti ini kaum cilik akan selamanya mendapat pelayanan pendidikan yang cilik juga.
^^^
Tinggal kulit dan tulang saja yang sekarang nampak di tubuh Ahmad dan Mail.Seakan-akan mereka ingin menyusul almarhum kedua orang tuanya saja. Sekarang , mereka hanya hidup sendiri. Tak ada lagi suapan nasi yang masuk kedalam perutnya. Hingga akhirnya ajal pula yang menjemput mereka. Jenazah Ahmad dan Mail ditemukan di sebuah kamar di pojokan Asrama Pesantren serambi tangan mereka saling menggenggam, dan disebelah mereka ada sebuah Al-Qur’an dan sepucuk surat.
Yang isi surat tersebut adalah :
Buat Bapak dan Umi disana ”Bapak..Umi....maafin Ahmad dan Mail. Kami belum bisa mewujudkan keinginan Bapak dan Umi. Kami makan tidak ada yang membiayai. Kami sekolah tidak ada pula yang membiayai. Kami kehilangan Bapak dan Umi. Jadi jangan salahkan Kami kalau kami menyusul Bapak dan Umi. Kami fikir, disini kami tidak dapat menikmati fasilitas pendidikan layaknya manusia-manusia yang lain, tapi Kami yakin disana Kami akan bahagia, karena disana ada Bapak dan Umi. Ahmad dan Mail sayang Bapak Umi.”
Tertanda, Ahmad dan Mail
MUSAFIR DAN TELAGA ILMU

Sujud……….. ku tak tahu
Rukuk……….ku juga tak tahu
I'tidal……….ku semakin tidak tahu
Begitu jauh kah diriku dengan MU…???
Aku malu dengan MU Yaa Penguasa ilmu...
kenapa butir debu itu mentertawakanku…??
Sementara itu……..dibalik bilik sebuah masa…..
Teriakan nadimu tak kuasa getarkan ari ku
Aku yang tuli, apa dunia yang bodoh…??
Teriakan hati dunia juga tidak pernah ku tuangkan ke dalam cangkir hatiku
Sapaan jantungnya tak kau persilahkan masuk ke serambi otak kecilku
Ucapan salam tangannya…………
tak ku jawab dengan mulut yang diolesi
lipstik tebal berwarna merah menyala itu
Menor sekali hatiku, tak ada lagi kelembutan di raut mukaku
Tapi…itulah duniaku,, dunia ku sudah terlanjur busuk tuk kutapaki
Tetapi dibalik semua itu,,,,dibalik semua yang sudah rusak itu….
Dan dibalik moral yang amburadul itu…
Aku…..aku melihat cahaya di timur sana…
Ya….ada ilmu ditelaga sana…..

Selasa, 10 Maret 2009

SASTRA DAN SANTRI

Barangkali ada suatu pertanyaan yang 'mengganjal' dan perlu kita jawab bersama; kenapa sastrawan-santri yang lahir di Pesantren, hampir semuanya, bisa dipastikan, bukan berdiri dari hasil proses belajar mengajar di Pesantren? Melainkan karena motif sastra, yang dikenalinya di luar dunia Pesantren? Padahal, bukankah Pesantren cukup mengajarkan apresiasi terhadap sastra, selain memang sudah menjadi tradisi para kiyai. Sejak dahulu, tradisi ilmu sastra di Pesantren diajarkan, untuk menyebut nama seperti kitab Siraj At-Talibin-nya Kyai Ihsan- Kediri, atau kitab Al-Miftah, Aroudl, Balagah, Ma'ani juga beberapa lainnya tersebut seperti bandongan, sorogan, dan wetonan, dan lain sebagainya. Bukankah ini sebagai bukti bahwa santri dan sastra cukup akrab bersahabat, tidak saja sekedar untuk memahami isi dan menangkap pesan di dalam kitabnya, melainkan untuk memproduksi sastra itu sendiri.

Teantang Hammam dan Sastra


Saya ini terlahir tertera nama "HAMMAM FATHULLOH", yang kurang lebih bermakna "orang yang mempunyai cita-cita luhur, dan menginginkan cita-cita tersebut diijabai oleh Allah SWT".

Saya seneng dengan sastra, terlebih dunia sufi. Banyak hal yang bisa kita ambil dari sebuah sastra. Salah satunya sastra bisa menjadi mediasi untuk bertaqarrub ila Allah. Saya berkeyakinan Al-Qur'an lah sastra yang paling tinggi. Saya banyak terinspirasi dari ayat-ayat Al-Qur'an untuk menciptakan sebuah seni, ataupun sastra baru.

Saya terlahir dalam lingkungan pesantren, abah saya (KH.Moch.Burhanuddin HB) dan umi saya (Hj. Sri Wahyuni) serta kakak-kakak saya (Hanik Nur Kholida,S.Sos.I dan Hamka Hakim,Lc), alhamdulillah selalu mendukung saya dalam proses pembelajaran sastra, meskipun hanya secara otodidak. Di lingkungan pesantren banyak sekali kitab-kitab kuning yang mempunya nilai sastra sangat tinggi, sekalipun kitab kuning tersebut berisi tentang study keilmuan. Seperti kitab karangan Jalaluddin Ar Rumi, dan kitab-kitab buatan orang Indonesia seperti, Emha ainun Nadjib, Gus Mus, dll.

Sekali lagi Sastra adalah satu kesatuan dengan yang namanya seni. Seni adalah sebuah kegiatan yang mengandung dan menghasilkan sebuah keindahan. Dan keindahan adalah suatu hal yang sangat disukai Allah. Jadi mari....dengan sastra kita dekatkan diri kita menuju Allah. Karena kita milikNYA dan akan berpulang kepadaNYA pula.